PUSARAN.CO- Membaca Islam secara paripurna diperlukan pembacaan yang holistik dalam perjalanan Nabi dalam menapaki gerakan Islam baik dalam periode Makkah yang berjalan selama tiga belas tahun maupun dalam periode Madinah yang berlangsung selama sepuluh tahun. Secara historis kedua periode dakwah Nabi ini menggambarkan misi besar dalam menterjemahkan ajaran ajaran yang diterima dari Tuhannya. Ada perbedaan antara kedua periode tersebut karena perbedaan tantangan yang dihadapi oleh Nabi. Ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi adalah ajaran yang sangat dinamis dan fleksibel atau dalam bahasa agama “Salihun likulli zamanin wa makanin” bahwa Islam itu sesuai dengan zaman dan tempat.
Kedatangan Islam di Indonesia berlangsung secara damai, karena para misionaris Islam sangat mengedepankan ajaran ajaran dengan pendekatan pendekatan yang humanistik dan mencoba mengakomodir budaya-budaya lokal yang membudaya sebelum masuknya Islam ke Indonesia. Banyak budaya-budaya agama sebelumnya yang dipertahankan dan coba diramu kembali demi untuk mempertahankan budaya tersebut. Itulah salah satu pendekatan yang dicoba oleh para pembawa ajaran Islam ke Indonesia demi untuk mempercepat misi dakwah Islam di Indonesia.
Islam Indonesia adalah Islam yang menyatu antara ajaran Islam yang fleksibel dengan berbagai budaya-budaya asli Indonesia yang ikut memperkaya khasanah keislaman yang shalihun likulli zamanin wamakanin. Keislaman seperti inilah yang dicoba diterjemahkan ulang oleh para pemikir keislaman seperti Caknur, Gusdur, Buya Syafii, dan pemikir-pemikir lainnya yang mencoba mengawinkan antara keislaman dan keindonesiaan. Keislaman dan keindonesiaan tidak dapat dipisahkan dalam konteks pengembangan keislaman di Indonesia. Para pejuang misi keislaman sangat menyadari bahwa proses dakwah yang mereka kampanyekan akan banyak mengalami hambatan-hambatan jika mereka menyampaikan keislaman yang kaku tanpa mencoba mengakomodir budaya-budaya lokal yang tentu saja tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keislaman.
Mungkin keislaman seperti inilah juga yang dicoba digaungkan oleh Muhammadiyah dengan Islam berkemajuan dan oleh NU dengan Islam nusantaranya. Kedua model keislaman yang ditawarkan oleh Muhammadiyah dan NU ini adalah suatu bentuk interpretasi keislaman yang mencoba memberikan nuansa baru terhadap Islam.Inilah salah satu bentuk model Islam yang likulli zamanin wa makanin, Islam yang fleksibel,yang dinamis,yang tidak kaku,atau Islam yang berkemajuan atau Islam Nusantara dalam perspektif Muhammadiyah dan NU.
Kedua organisasi ini lahir dari tokoh-tokoh sentral yang sangat dikagumi keilmuan dan kealimannya,yaitu KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Keduanya juga dikenal sebagai tokoh moderat, sehingga organisasi yang didirikannya dapat bertahan dan berkembang pesat karena sesuai kultur Indonesia. Visi misi kedua organisasi terbesar di Indonesia ini adalah ingin mengembangkan pemahaman Islam yang moderat dan keislaman yang sesuai kultur keindonesiaan, atau istilah Buya Syafii Maarif Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Bagaimana keislaman itu tumbuh subur dan berkembang pesat dengan tetap mengadopsi budaya-budaya keindonesiaan yang berakar dari niali-nilai kemanusiaan universal.
Membaca pemikiran Buya Ahmad Syafii Maarif akan membawa kita ke pemikiran yang mendalam tentang keberislaman, Beliau mampu menterjemahkan prinsip-prinsip Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Pendekatan-pendekatan dalam memahami Islam tidak pernah lepas dari aspek kesejarahan yang merupakan ilmu digeluti selama ini. Salah satu buku Buya yang terbit ditahun 90 an yang diterbitkan oleh mizan adalah “Peta bumi intelektualisme Islam di Indonesia”, adalah buku yang menggambarkan pemikiran Buya, disini Buya mencoba menggambarkan peradaban Islam awal adalah peradaban yang berpihak kepada peradaban ilmu dan peradaban spiritual, dalam bahasa Buya bahwa keberhasilan Nabi dalam membangun masyarakat madinah pasca hijrah karena Nabi mengedepankan dua fakultas yaitu fakultas dzikr dan fakultas fikr, kedua model peradaban ini menjadi rujukan Nabi dalam membangun masyarakat madani atau masyarakat yang berperadaban. Peradaban spritual dicoba dikedepankan oleh Nabi ketika baru sampai di madinah Nabi langsung menginisiasi pembangunan tempat ibadah yakni mesjid sebagai simbol dzikr, sebagai peradaban spritual.
Disamping peradaban spritual, Nabi juga memberikan pencerahan-pencerahan kepada para sahabatnya atau masyarakat madinah umumnya. Ini dengan intensnya halaqah-halaqah keagamaan setelah Nabi melaksanakan ibadah. Salah satu kebiasaan Nabi adalah melakukan bincang-bincang berbagai permasalahan keagamaan dan keummatan. Ini adalah model atau simbol fikr atau simbol keilmuan. Jadi menurut Buya bahwa membangun suatu peradaban yang anggun dan tahan banting dari kejatuhan, haruslah landasannya yaitu landasan dzikr dan landasan fikr.
Disamping model peradaban yang ditawarkan oleh Buya yaitu peradaban ilmu dan peradaban spritual, Buya juga mencoba menawarkan kualitas personal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah bagaimana membudayakan kearifan dan ketegasan dalam memimpin suatu organisasi. Memang keduanya tidak selalu mudah bersahabat dalam kenyataan berorganisasi. Bahwa kunci keberhasilan sebuah gerakan perjuangan banyak ditentukan oleh tingkat kemampuan kita mengawinkan kedua kata yang tidak selalu bersahabat itu. Itulah resep Buya dalam keberhasilannya memimpin organisasi Muhammadiyah, Buya mencoba untuk memberikan resep yang jitu dalam memimpin, yaitu bagaimana membudayakan keilmuan dan mengisi kekuatan spiritual, Buya dalam hal ini bukan hanya memberikan konsep lewat berbagai tulisan-tulisannya tapi betul-betul dipraktekkan dalam kehidupan Buya.
Kepemimpinan Buya dalam Muhammadiyah betul-betul mempraktekkan budaya ketegasan sebagaimana pemimpin-pemimpin sebelumnya. Disamping itu Buya juga sangat Arif dalam masa kepemimpinan Buya di Muhammadiyah. Kita butuh pemimpin-pemimpin kedepan untuk membudayakan ketegasan dalam memimpin dan tentu saja juga dibarengi kearifan, keduanya harus menyatu dalam jiwa seorang pemimpin.
Satu juga yang menarik dari sosok Buya Ahmad Syafii Maarif adalah keproduktifannya dalam menulis, Buya tidak pernah merasa lelah untuk menyampaikan kisi-kisi pemikirannya lewat tulisannya. Dan tulisan-tulisannya banyak menyentuh persoalan moral kebangsaan, Dan Buya sangat kritis dalam melihat kondisi kebangsaan yang sangat terpuruk dalam persoalan moral kebangsaan. Buya adalah tokoh Muhammadiyah atau tokoh Bangsa yang paling produktif dalam menulis atau menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Di umur Buya yang sudah memasuki usia yang ke 86 masih aktif menulis, kemarin di hari lahirnya Pancasila Buya sempat menulis tentang Pancasila.
Prof Quraish Shihab pernah memberikan statmen di salah satu buku Buya, “Mengetahui usia Buya Syafii Maarif, sudah sepatutnya beliau ini dicemburui banyak orang. Beliau tetap produktip dan menyumbangkan pikiran-pikirannya tanpa ragu sedikitpun dengan sudut pandangnya. “(rls)